Moh. Ainu Rizqi
Perhelatan Hari Buku Nasional di Indonesia nampaknya masih belum semasyhur peringatan Hari Ibu, Hari Pendidikan Nasional, dan hari-hari besar lainnya. Entah karena buku masih belum seberharga itu atau memang pemerintah memang tidak serius terhadap dunia perbukuan di Indonesia.
Bahkan saya sering iseng-iseng bertanya pada beberapa orang secara random, “Kapan Hari Buku Nasional diperingati?” Jawabannya pun beragam. Ada yang menjawab dengan spontan, “Lho, memang ada, ya, Hari Buku Nasional?”
Hal itu kadang membuat saya teriris, bagaimana tidak? Sudah harga buku mahal—tidak disubsidi—tingkat kegemaran membaca yang juga rendah, sebagaimana data yang dipublikasikan Perpusnas, bahwa tahun 2024 Tingkat Gemar Membaca Indonesia masih menempati angka 72, 44 persen. Unesco sendiri mencatat dari 1000 orang, hanya ada 1 orang yang suka membaca. Sungguh ngelus dodo mengetahui hal seperti ini.
Padahal membaca itu merupakan suatu proses yang teramat penting. Dalam momentum Hari Buku Nasional tahun 2025 yang diperingati tiap 17 Mei ini, saya akan membeberkan beberapa alasan mengapa membaca buku itu perlu dan penting. Sebab, dalam dunia yang melulu tak menentu ini, membaca buku itu sungguh perlu untuk melintasi waktu.
Membaca Membantu Memahami Dunia yang Semakin Kompleks
Saat ini dunia sudah berjabat tangan dengan berbagai ketidakpastian, ketidakmenentuan, serta diambang kehancuran. Perang dagang, krisis iklim, politik yang tak lagi bersahabat, serta neoliberalisme yang makin menggurita. Dalam konteks Indonesia pun begitu. Cukup sering kita mendengar pertanyaan, “Indonesia yang sudah terlanjur begini, harus dibenahi dari mananya dulu, ya?”
Untuk memahami itu semua, buku menjadi sangat penting untuk kita selam-akrabi. Dari buku, kita belajar tekun dan telaten untuk melihat pelbagai perspektif yang ada. Melalui buku, kita mampu mengurai kompleksitas yang ada, sebab dalam buku sendiri berisi beragam kompleksitas yang, dengan membacanya, kita belajar mengurainya secara perlahan.
Meningkatkan Kualitas Berpikir yang Analitis
Agaknya, hampir semua manusia pasti pernah melakukan aktivitas berpikir. Sayangnya tak melulu manusia yang berpikir juga menyertakan analisis yang mendalam. Hal tersebut sebenarnya cukup kompleks. Perlu adanya pergulatan yang mendalam. Alih-alih memperbaiki kualitas berpikir, kenyataan pada hari ini menuntun kita pada nestapa yang makin tak terpermanai.
Banyak riset yang menyebutkan bahwa media sosial, apalagi fenomena scroll-scroll yang makin mengakar, justru menyebabkan otak kita membusuk. Dalam bahasa Kiwari, hal tersebut disebut dengan Brain Rot. Padahal keadaan hari ini yang kian runyam dan kompleks menuntut kita untuk berpikir mendalam, analitis, dan kritis. Sebab tanpa begitu, kita akan cenderung terburu-buru menyimpulkan suatu persoalan dan lepas dari fokus permasalahan. Oleh karena itu, membaca menuntut sekaligus menuntun kita untuk berpikir lebih tajam, mempertanyakan asumsi, dan mengambil keputusan yang lebih baik.
Membaca Menjadi Sarana Bagi Kita untuk Menangkal Hoaks
Fenomena hoaks di Indonesia kiranya sudah sangat mengkhawatirkan. Sebagai orang desa, saya kerap berinteraksi dengan orang-orang lintas generasi yang ada di desa. Sungguh menyenangkan, namun satu hal yang membuat saya kerap beristighfar adalah, bagaimana hoaks dipercaya begitu saja tanpa digugat atau dipertanyakan kembali.
Hal ini senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Sabrang MDP dalam suatu forum Maiyah. Sabrang menguraikan bahwa banyak generasi tua yang rentan terkontaminasi hoaks. Tak terbayang jika kita yang menyadari hal itu hanya diam saja, apalagi sampai larut dalam ke-hoaks-an tersebut. Kendati demikian, masih ada fajar menyingsing yang dapat kita gapai: membaca. Dengan membaca, kita tak mudah terkontaminasi hoaks karena dalam membaca dibutuhkan proses kesabaran, menggugat asumsi-asumsi serta memecahkan batu dogmatis dalam kepala kita yang acap kali sulit diajak kompromi.
Membaca Dapat Memperkaya Pengalaman serta Memperluas Batin
Orang dulu mengatakan, “Dengarkan apa yang disampaikan orang tua dahulu, sebab hidupnya sudah kaya dengan pengalaman.” Saya setuju dengan itu. Namun persoalannya hari ini dalam dunia yang berlari cepat, adakah waktu luang kita untuk duduk bersantai sembari mendengarkan cerita-cerita orang-orang tua terdahulu? Sulit rasanya. Beban kerja yang tak ramah, kebutuhan yang terus memamah, serta manusia-manusia yang dipenjara gawai, agaknya cukup menyita waktu serta energi kita untuk sekadar beramah-tamah dengan orang-orang tua.
Melalui bacaan, entah fiksi maupun non-fiksi, kita dapat menemukan pengalaman-pengalaman itu. Sebut saja novel. Saat membaca novel, imajinasi kita terseret ke dalam latar suasana cerita. Bahkan, tak jarang kita membayangkan bahwa kitalah tokoh utama dalam cerita tersebut. Berbagai perasaan serta dilema yang dirasakan oleh tokoh dapat kita rasakan dengan khidmat. Tak heran Prof. Karlina Supelli pernah mengatakan bahwa membaca sastra itu menumbuhkan empati dan memperhalus perasaan.
Tanpa mengalami secara langsung, kita seolah-olah bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh utama dalam buku tersebut. Hal tersebut juga bisa kita lakukan dalam waktu-waktu luang. Batin kita pun dilebarkan oleh konflik yang dibangun penulis. Kita juga tak mudah menuding orang lain, sebab dari membaca kita belajar untuk mengetahui latar belakang seseorang memutuskan tindakannya.
Membaca Membantu Menjaga Stabilitas Mental dan Membuat Kita Berjarak dari Depresi
Tak dapat dipungkiri bahwa isu mental hari ini kian menjulang dan memprihatinkan. Timeline di sosial media ulang-alik memaparkan keadaan banyak manusia hari ini yang terpapar depresi. Hal tersebut lagi-lagi sangat menyayat hati. Alih-alih dikonsultasikan dengan ahlinya, justru banyak yang memilih jalan pintas sebagai pelarian melalui hal-hal yang merugikan dan menyakiti diri sendiri.
Untuk menyiasati hal tersebut, membaca dapat menjadi sebuah upaya jihad melawan depresi. Dengan membaca, kita dapat mengistirahatkan pikiran dari hal-hal yang tak semestinya dipikirkan. Dengan membaca, kita melipat waktu dari keseharian yang mekanistis. Membaca setidaknya memulihkan kita sebagai manusia dengan segala bentuknya yang manusiawi. Memberi jeda untuk refleksi dan kontemplasi.
Oleh karena itu, momen Hari Buku Nasional bukan hanya diperingati, tapi juga dirayakan dan direfleksikan ulang, bahwa membaca itu memanglah perlu; bahwa dalam keadaan bagaimana pun, membaca akan selalu dibutuhkan. Maka, sayup-sayup menggema wahyu pertama yang turun di Gua Hira’, “Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq.”