Menyusu Celeng: Ketika Manusia Menjadi Rakus Hingga Menyusu pada Induk Keserakahan

Oleh; Alvin Nur Muhammad Azyz

Di tiga kanvas lukisannya,

Djokopekik melepas celengnya

Hanya seekor binatang liarkah celengnya?

Zaman telah melepas banyak teka-teki

Jangan-jangan celengnya juga

Menyimpan misteri… (halaman 19)

Setelah kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya tahta Soeharto, Djoko Pekik membuat lukisan celeng yang diberi judul “Berburu Celeng”. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menampilkan seekor celeng raksasa, bertaring, diikat dengan badan terbalik pada sebilah bambu ringkih dan digotong oleh dua lelaki kurus busung lapar. Celeng gemuk yang memiliki taring indah itu tak berdaya digotong oleh rakyat jelata. Taringnya indah, mengesankan kemegahan dan kejayaannya. Ribuan mata menjadi saksi peristiwa besar itu. Yang menarik ialah  para rakyat berkerumun di sekitar celeng itu bersuka-ria, penuh kegembiraan, sambil menari-nari. Rakyat merayakan tertangkapnya celeng hitam dengan suka-cita dan dilukis dengan penuh warna yang berbeda dengan warna celeng yang hitam legam.

Di tengah hiruk pikuk modernitas dan gemerlap kemajuan, Sindhunata, seorang budayawan, rohaniawan, sekaligus sastrawan ulung, mengajak kita menengok ke sudut-sudut gelap jiwa manusia melalui karyanya yang monumental, dari lukisan “Berburu Celeng” itulah yang menginspirasi Sindhunata menulis buku yang berjudul “Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka” (1999). Yang pada tahun 2019 diterbitkan ulang dengan judul “Menyusu Celeng”. Ia menarasikan lukisan celeng Djoko Pekik tersebut dengan pelbagai peristiwa yang mengelilingi dalam proses melukiskannya. Bukan sekadar karya, buku ini adalah sebuah cermin retak yang memantulkan wajah-wajah kemunafikan, kerakusan, dan kebrutalan yang tersembunyi di balik topeng peradaban. Dengan bahasa yang puitis sekaligus menusuk, Sindhunata menyeret kita ke dalam sebuah alegori yang tak lekang oleh waktu, sebuah perenungan mendalam tentang “manusia celeng” yang hidup di antara kita, atau bahkan, di dalam diri kita sendiri.

Menyusu Celeng bukanlah bacaan ringan pengantar tidur. Ia adalah sebuah perjamuan sastra yang kaya akan simbolisme, kritik sosial-politik yang tajam, dan perenungan filosofis yang mendalam. Tokoh-tokoh di dalamnya, mulai dari pelukis yang bergelut dengan nuraninya hingga para penguasa yang mabuk kekuasaan, adalah representasi dari pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan dalam diri manusia. Dan di tengah-tengah pertarungan itu, hadir sosok ‘celeng’ – babi hutan – sebagai metafora utama: simbol keserakahan, kebuasan, dan nafsu tak terbatas untuk mengeruk harta dan kuasa.

Alegori yang Menampar Kenyataan

Sindhunata pada bagian Berburu Celeng di dalam buku ini menuliskan bahwa “Dalam masyarakat ada  yang namanya babi ngepet atau bagong liyer. Seperti kodhok ijo, kandhang bubrah,  atau nyai blorong, babi ngepet adalah jenis pesugihan. Maksudnya, orang dapat menjadi kaya, jika memiliki pesugihan itu” (halaman 35). Ia dengan brilian menggunakan mitos dan kepercayaan lokal, terutama mitos babi ngepet, untuk membangun alegori yang kuat dan relevan. Dalam novel ini, “menyusu pada celeng” menjadi gambaran mengerikan tentang bagaimana manusia rela menggadaikan nurani dan kemanusiaannya demi mendapatkan kekayaan dan kekuasaan instan. Mereka yang memilih jalan ini, pada hakikatnya, telah kehilangan jati diri mereka sebagai manusia dan menjelma menjadi ‘celeng’ – makhluk yang hanya hidup untuk memuaskan nafsu serakahnya.

Lebih jauh, Menyusu Celeng adalah sebuah kritik pedas terhadap realitas sosial-politik Indonesia, terutama pada masa Orde Baru yang represif dan sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sindhunata, melalui narasi-narasinya yang berlapis, seolah ingin mengatakan bahwa ‘ilmu celeng’ – ilmu serakah, ilmu korupsi, ilmu gila kuasa – telah merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para penguasa yang seharusnya menjadi teladan, justru menjadi ‘raja celeng’ yang memimpin gerombolan ‘manusia celeng’ untuk menjarah kekayaan negeri.

Refleksi atas Indonesia yang Makin Terkoyak

Dengan tertangkapnya raja celeng ternyata tidak membuat sifat jahat celeng sirna. Kematian sang raja celeng justru tak menghentikan perkembangbiakan celeng-celeng baru yang kini jauh lebih rakus dan bengis. Karakter celeng ini bisa merasuki siapa saja, dari pucuk pimpinan hingga rakyat jelata. Sindhunata pernah berujar, dengan menyusu pada raja celeng, orang akan memperkuat ilmu celengnya. Ilmu celeng yang dimaksud ialah ilmu serakah, ilmu kemaruk, ilmu mengeruk harta, ilmu korupsi, ilmu gila kuasa untuk menumpuk kekayaan tiada batas. Menyusu celeng adalah cerita tentang kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu dan perilaku manusia berwatak celeng. Namun supaya bisa menyusu dan memperoleh ilmu-ilmu itu ada syaratnya.

Syarat untuk memperoleh ilmu celeng adalah memutus urat malu dalam dirinya. Para pengamal ilmu celeng harus bersedia melepaskan rasa malu yang dimiliki sebagai manusia. Ia tidak boleh bermartabat dan memiliki harga diri. Orang itu harus menyingkirkan hati nuraninya. Baru kemudian ia komplit menjadi bukan sebagai insani, tetapi celeng. Hingga kini Indonesia semakin dipenuhi oleh para celeng. Mereka menari-nari layaknya seperti para celeng menari-nari. Mereka menyanyi-nyanyi layaknya seperti para celeng menyanyi-nyanyi. Musik pun melantunkan musik celeng. Semuanya telah menjadi celeng.

Lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.

Lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.

Lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.

Lengji lengbeh.

Lengji lengbeh.

Lengji lengbeh. (halaman 176)

Meskipun Menyusu Celeng pertama kali terbit beberapa dekade lalu, potret relevansi tentang ke-Indonesiannya masih amat akurat. Isu-isu tentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan krisis moral yang diangkat dalam novel ini masih sangat terasa di tengah-tengah masyarakat Indonesia modern. Manusia-manusia celeng masih berkeliaran di sekitar kita, mungkin dengan wujud yang lebih canggih dan modus operandi yang lebih halus, namun esensi keserakahan mereka tetap sama. Lalu sudah seberapa jauh kita menyusu celeng dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita telah mengorbankan integritas demi kenyamanan, atau idealisme demi kepentingan sesaat?.

Membaca Menyusu Celeng hari ini bukan hanya sekadar bernostalgia dengan masa lalu atau menikmati keindahan sastra. Lebih dari itu, ia adalah sebuah panggilan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kemanusiaan kita, untuk berani menolak ‘ilmu celeng’, dan untuk terus berjuang melawan segala bentuk keserakahan dan kezaliman yang merusak tatanan kehidupan bersama.

Menyusu Celeng adalah sebuah karya besar sastra Indonesia yang wajib dibaca oleh siapa saja yang peduli dengan nasib bangsanya dan masa depan kemanusiaan. Ia adalah sebuah peringatan keras, sekaligus secercah harapan, bahwa di tengah-tengah kegelapan, masih ada ruang bagi nurani untuk bersinar dan bagi kebaikan untuk meraih kemenangannya.