Belajar Pulih Bersama Srawung Psikologi

0
40

Pada Minggu sore, 12 Oktober 2025, kami—anak-anak jurusan Psikologi dari berbagai daerah yang tergabung dalam komunitas Srawung Psikologi, berkumpul di Taman Ruang Terbuka Hijau (RTH) Gumul Kediri, tempat yang saat itu hawanya panas, tetapi tetap terasa syahdu. Tuhan seolah memberi anugerah berupa awan-awan teduh yang menutupi sorot panas matahari.

Sore itu, kami bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi UIT Lirboyo Kediri mengadakan acara peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Acara dibuka dengan santai, ramah, dan tentu saja bermakna. Terasa mengagumkan karena di taman itu kami berkumpul bukan untuk hura-hura, melainkan untuk berbicara tentang kesehatan mental.

Tema Hari Kesehatan Mental Dunia yang kami usung adalah “Our Minds, Our Rights”, yang berarti Pikiran kita adalah hak kita. Tema ini mengingatkan kita bahwa setiap pikiran, setiap emosi, dan setiap luka memiliki ruang untuk didengar. Kita semua berhak mendapatkan ketenangan, dukungan, serta kesempatan untuk pulih. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu kesehatan mental dan memobilisasi upaya untuk mendukungnya.

Acara dimulai dengan suasana santai oleh Sofia Nurjannah. Berbekal kemampuan dan pengalamannya, Sofia berhasil mencairkan suasana. Setelah itu, perwakilan dari Srawung Psikologi dan BEM-FP memberikan penjelasan singkat mengenai alasan di balik tema yang diangkat, disusul dengan sesi mindfulness singkat untuk menumbuhkan rasa rileks dan tenang. Meski sederhana, sesi itu memberi sentuhan hangat bagi setiap peserta.

Acara semakin seru ketika kami membuka games telepati dan mengeja kata. Semua peserta antusias, tertawa lepas, dan saling menebak dengan ekspresi penuh semangat. Permainan sederhana itu membuat kami saling terhubung tanpa batas—tidak ada yang merasa asing, tidak ada yang merasa sendiri. Dalam tawa dan teriakan kecil yang riuh, suasana taman sore itu seolah berubah menjadi ruang hangat penuh kebersamaan.

Sesi utama dalam acara ini adalah pembagian gantungan kunci bergambar semikolon (;)—tanda titik koma. Dalam dunia menulis, tanda ini digunakan ketika sebuah kalimat belum selesai, masih ingin dilanjutkan. Begitu pula dengan hidup kita. Titik koma menjadi simbol bahwa meskipun kita pernah berhenti sejenak, cerita kita belum berakhir. Kita masih bisa bangkit, bernapas, dan melangkah lagi.

Momen itu seperti memberi jeda bagi para mahasiswa dari hiruk-pikuk kehidupan kampus—dunia yang penuh tekanan akademik, ekspektasi orang tua, dan kecemasan tentang masa depan. Melalui acara ini, kami belajar pentingnya saling mendengarkan tanpa menghakimi, serta membangun ruang aman antar-teman. Kadang yang kita butuhkan bukanlah solusi cepat, melainkan seseorang yang mau duduk diam di sebelah kita.Kami berharap acara semacam ini bisa menjadi pengingat agar kita lebih peka terhadap diri sendiri dan orang di sekitar. Srawung Psikologi ke depan semoga terus menjadi ruang bersama lintas kampus untuk belajar peduli.

Sore itu, di antara napas dan jeda, kami belajar bahwa hidup bukan soal kuat tanpa henti, melainkan berani berhenti untuk pulih. Hidup seperti titik koma—sebagaimana simbol semikolon di gantungan kunci yang kami pasang di dompet, tas, atau kunci rumah dan motor. Sebuah tanda kecil bahwa kami masih di sini, dan kami masih melanjutkan cerita kami.

Penulis: Jamal El-Mutamaddin