RESENSI ABURING KUPU-KUPU KUNING

0
88

Judul Buku: Aburing Kupu-kupu Kuning

Penulis: Sindhunata

Jumlah halaman: 288 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama [2019]

ISBN: 978-602-06-2275-0

Aburing Kupu-kupu Kuning merupakan buku berbahasa Jawa yang sangat kental dengan nuansa spiritual Katolik. Buku ini berisi kisah lika-liku dan seluk-beluk wong cilik yang penuh dengan pengajaran rohani. Dari cerita-cerita yang ada, kita akan mengetahui bahwa kehadiran Gusti sebenarnya tidak jauh dari keseharian hidup kita. Meski kita berada di tengah kehidupan dunia yang carut marut, manusia akan tetap bisa bertemu dengan Tuhan dengan merasakan kehadiran-Nya.

Buku ini ditulis dengan keindahan sastra Jawa. Sastra Jawa tentu tidak bisa dibaca secara cepat dan terburu-buru. Seperti yang kita tahu bahwa sastra lahir untuk dinikmati. Dalam hal ini, Romo Sindhu seperti memberikan nyawa pada setiap kata, kalimat, hingga paragraf yang beliau tulis. Pembaca dengan sejenak diajak untuk melunakkan hati, menghidupkan rasa, dan melahirkan kesadaran untuk memahami sesama lewat, setidaknya, 38 carios pagesangan.

Manungso kuwi yektine wae cilik, sekeng, tanpo duwe daya, melarat tanpa ndarbeni apa apa, dene sing dadi ndarbeke ora liyo mung dosa”.Kira-kira apa, sih, yang harus kita sombongkan di dunia? Ketika kita besar, kaya, kuat, kiranya akan tetaplah sia-sia jika dalam diri kita tidak memiliki katresnan jati. Sebaliknya, yang kecil malah bisa menjadi indah karena punya talenta katresnan.

Sebagai seorang manusia, tentu kita wajib untuk mencintai sesama. Terkhususnya nresnani wong miskin lan kang nandhang sengsoro. Dengan kita mencintainya, kita sama saja mencintai Tuhan. Jika tidak mencintai wong cilik dan kita tidak belajar mencintai kepada mereka, kiranya kita belum pantas untuk ikut berkumpul ing ngarso Ndalem Gusti.

Hidup memanglah penuh dengan lika-liku. Orang-orang yang merasakan seret lan paiting urep adalah orang yang lebih beruntung daripada orang yang bergelimang harta, pangkat, jabatan atau kuasa. Bergelimang kemewahan hanya akan membuat manusia ciblon kanikmatan. Lupa bahwa ada yang harus digapai dan diperjuangkan daripada hanya sekadar kenikmatan di dunia.

Rasa sih ndalem Gusti (rasa cinta) ini bukan hanya dongeng belaka. Ia adalah kenyataan bagi orang-orang yang mengimani. Gusti Yesus selalu memberikan piweling agar selalu berhati hati dan jangan sampai hatimu menjadi tumpul karena panasnya perasaan yang muncul akibat perbedaan hidup dan berbagai kesibukannya. Hal ini seperti yang tertuang dalam Lukas Bab 21 ayat 34-35.

Rasa cinta itu bukan hanya karena berharap apa yang dicintai bisa memberikan hasil yang kita inginkan, tapi rasa cinta itu karena memang kita harus benar-benar cinta kepada yang kita cintai. Ketika kita sudah melebur dengan katresnan ndalem Gusti, sesulit apapun kehidupan akan mudah terlewati. Segala halang-rintang, kebingungan, kesusahan, ketakukan, bukan lagi menjadi halangan.

Tuhan harus selalu kita masukan dalam hati dan diri. Dengan begitu, kita pun tak akan gentar di hadapan kematian. Dengan itulah kita hidup dan akan selalu hidup meski kita sudah mati. Kematian memanglah akan datang, tapi datangnya kematian bukan untuk menghukum dan mematikan tapi untuk menyempurnakan keselamatan dan kedamaian.

Adanya kedamaian dan keadilan tidak bisa kita lakukan tanpa bergantung pada katresnan Ndalem. Kita akan lumpuh, takut ketika kita menghadapi barang yang tidak adil tanpa bergantung pada pertolongan Gusti. Rasa Ikhlas, pasrah dan sederhana ini yang mampu melahirkan kedamaian dalam diri.

Mengambil pelajaran dari patung Pieta. Sebuah patung yang menggambarkan ketika Maria menggendong Yesus di pangkuannya setelah penyaliban-Nya. Jika dilihat, patungnya memang sederhana tapi mampu menarik orang banyak. Apa yang membuat patung tersebut menjadi menarik orang banyak?

Paradoks, ya itulah yang merupakan dua hal yang selalu bertentangan. Manusia memang tidak suka hidup dalam kondisi saling bertentangan. Antara baik dan buruk, pasti manusia memilih baik. Antara muda dan tua pasti memilih yang muda. Antara hidup dan mati pasti memilih hidup.

Namun, paradoks itu memang sejatinya manusia. Semakin manusia menjauhi paradoks itu, maka akan semakin tersiksa. Meskipun kaya, akan terasa miskin. Sudah merdeka tetap terasa terikat. Sudah beruntung tetap saja merasa sengsara. Sudah hidup, eh, malah merasa mati. Seperti Pieta, ia menerima paradoks itu dan malah menjadikan sebagai jati dirinya. Justru kemauan untuk menerima itulah yang menyebabkan paradoks jadi penawarnya. Pieta yang sederhana ternyata mampu mewujudkan cerita yang mengharukan  

Aburing Kupu-kupu Kuning merupakan sebuah perjuangan penuh keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Seperti layaknya kisah kupu-kupu kuning yang rela terbang bersama-sama ke arah timur. Untuk apa? Tidak lain hanya untuk terus terbang dan menjemput kematian. Ketika kupu-kupu itu mati maka akan lahir kesejukan dan kesuburan. Artinya, terbangnya kupu-kupu ke arah timur sebagai tanda kalau akan ada hujan di tengah kekeringan yang sedang melanda.

Anak-anak yang melihat perjuangan dan pengorbanan kupu-kupu kuning itu lantas ingin menjadi kupu-kupu kuning yang terbang ke timur. Sebuah pengorbanan cinta sang kupu-kupu kuning agar dari langit segera turun hujan dan menyelamatkan tanah yang retak kering-kerontang.

Keinginan ini merupakan keinginan tentang keikhlasan. Tentang bagaimana ketika manusia ingin lenyap dan tidak ingin ada lagi. Bukan artian secara fisik, tapi ini adalah sebuah keinginan yang tulus menuju sikap rendah hati, meleburkan ego, meninggalkan diri pribadi demi sesuatu yang lebih tinggi dan mulia. Dan yang terpenting adalah agar Tuhan mampu duduk dalam relung terdalam hati manusia.   

Buku ini membawa dampak baik bagi setiap pembaca. Setidaknya bagi seorang yang sedang dilanda rasa kerasnya hati, maka buku ini dapat menjadi obatnya. Hanya saja, tentu tidak semua pembaca paham akan bahasa yang digunakan. Bagi saya sendiri banyak bahasa-bahasa yang asing bagi saya. Tapi daripada Bahasa Indonesia yang digunakan pada umumnya buku atau novel, Bahasa Jawa adalah pilihan yang sangat cocok untuk menggambarkan segala suasana dan kondisi kehidupan dengan lebih dalam dan bermakna.

Dengan membaca buku ini, saya kira tidak ada kondisi kehidupan yang benar-benar indah tanpa adanya upaya cinta serta kepasrahan menggantungkan diri kepada Tuhan: “Yen kita cedak marang Gusti, nyuwun apa wae bakal kasembadan”.