Resensi Tali Pati Karya Iman Budhi Santosa

0
63

“Bunuh diri memang misteri kehidupan umat manusia yang sulit dipecahkan dan sebaiknya kita terus belajar dengan cara apa pun untuk menghadapinya…”

Peringatan isi: Resensi ini membahas tema bunuh diri. Jika topik ini sensitif bagi Anda, berhenti sejenak dan jaga keselamatan diri.

Buku ini merupakan potret sosial-budaya yang menelisik salah satu fenomena paling kelam di Daerah Istimewa Yogyakarta: maraknya bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul. Iman Budi Santhosa (IBS), seorang penyair sastrawan dan penulis lepas, menggandeng Wage Daksinarga—warga asli Gunung Kidul—untuk menelusuri dan menghimpun peristiwa bunuh diri di daerahnya melalui investigasi, foto, dan pengumpulan data. IBS kemudian merangkai temuan Wage menjadi kisah-kisah yang sarat akan muatan human interest, disajikan dengan gaya jurnalisme sastrawi atau new journalism: memadukan ketelitian fakta, data, dan informasi khas dunia jurnalistik dengan sentuhan narasi yang mengalir seperti karya sastra.

Penulis membuka buku dengan pengalaman personal penulis sendiri: penulis menyaksikan seekor kalong melukai sayapnya sendiri sehingga mati, seolah memberi peringatan bahwa dorongan untuk mengakhiri hidup tidak hanya milik manusia. Dari situ, IBS bersama Wage menelusuri mengapa Gunung Kidul menjadi “episentrum” bunuh diri di Indonesia. Penulis menyadari bahwa alasan terdalam tiap pelaku nyaris selalu tersembunyi; sebagaimana dua baris puisi Chairil Anwar “ada yang tetap tidak terucapkan sebelum akhirnya menyerah.”

IBS dan Wage begitu pintar dalam mengemas suasana: topografi berbukit, mitos pulung gantung, dan ketegangan sosial budaya setempat digambarkan dengan jelas. Pembaca diajak merasakan kecemasan warga setelah kematian menggantung datang silih berganti. Di dalamnya ada belasan kisah nyata yang memotret alasan yang sulit ditebak. Misalnya kisah Yatmo Rejo di dusun Planjan (1999). Setelah tiga kasus bunuh diri berturut-turut—Miyem, Wongso Sangkan, dan akhirnya Yatmo—warga diliputi ketakutan luar biasa. Orang enggan keluar rumah, dan mitos kematian berantai kian menebal.

Ada pula kisah Sn, kawan lama penulis yang dikenal ramah dan mapan secara ekonomi, yang tiba-tiba ditemukan tergantung di kamarnya sehari setelah bertemu calon istri. Sebelumnya ia pernah berpesan agar sajak Derai-derai Cemara dibacakan di makamnya. Janji itu ditepati, tetapi alasan di balik keputusannya tetap menjadi “rahasia yang dibawa mati”.

Kisah lain menyingkap latar beragam: Sutego anak yang tumbuh tanpa mengenal ayah; Saimin, yang terjerat pertengkaran rumah tangga; atau Suwargo Nugroho, penganggur yang kehilangan semangat hidup. Rangkaian cerita ini menunjukkan kemiskinan, konfilik keluarga, atau kesepian menjadi pemicu, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar menjelaskan tindakan bunuh diri.

Iman Budhi Santosa menegaskan, tidak ada jawaban tunggal untuk memahami peristiwa ini. Para pelaku biasanya merahasiakan rencana, memilih tempat dan waktu yang sepi, dan jarang meninggalkan pesan. Sementara masyarakat sekitar, walau menolak keras bunuh diri secara agama dan adat, tetap hidup dalam ketakutan dan keyakinan mistis. Kepercayaan pada roh leluhur, pulung gantung, dan kekuatan alam bercampur dengan kenyataan sosial: lahan tandus, urbanisasi, serta perasaan terasing.

Penulis akhirnya melihat bunuh diri sebagai peristiwa besar yang tak mungkin diringkas dalam satu alasan. Upaya mencari penjelasan tuntas hanya berakhir pada kesadaran yang digambarkan Chairil Anwar dalam dua baris sajak Derai-derai Cemara: “Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.”

Keunggulan buku ini terletak pada keberaniannya mengangkat topik tabu dengan pendekatan yang peka dan puitis. Pembaca mendapat fakta lapangan yang jernih sekaligus ruang untuk merenung tentang batas akal ketika manusia menghadapi penderitaan. Bagi pembaca yang menginginkan analisis akademik yang kaku, buku ini terasa lebih seperti kisah dokumenter ketimbang kajian ilmiah. Namun, di situlah justru kekuatannya: ia menyajikan wajah kemanusiaan yang rapuh tanpa mencoba menutupinya dengan teori.

Tali Pati menjadi cermin masyarakat yang berhadapan dengan misteri kematian dan kebebasan manusia dalam memilih jalan hidup. Dengan riset yang telaten dan bahasa yang memikat, Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga mengajak pembaca menatap kenyataan pahit yang kerap disembunyikan. Buku ini layak dibaca siapa saja yang ingin memahami sisi gelap kehidupan sosial dan keterbatasan kita menafsirkan penderitaan.

Penulis: Jamal El-Mutamaddin