Kumpulan Tulisan Zazuli

Daftar (draft) tulisan:

Ini kanavi

Daftar (draf) buku:

Yang Tersisa Usai Berjumpa: Sebuah Renung Pasca-Sesrawungan Mahananian dan Susteran Putri Kasih Kediri

Sugeng rawuh… Sugeng rawuh… Sugeng rawuh…”

Tak terhitung berapa kali kata itu bersambut dengan bibir tersimpul bulan sabit dari para suster. Kata “sugeng rawuh” yang terdengar biasa-biasa saja justru menjadi keharuan tersendiri bagi saya. Tiap kali para suster mengucapkan kata itu saat saya baru tiba di Susteran Putri Kasih Kediri, tiap itu pula amigdala dan sistem limbik pada otak saya bekerja kian tekun. Singkatnya, ada keharuan yang tak terpermaknai dan sulit diejawantahkan oleh kata.

Begitu pula saat Romo Suparmono menyambut saya dan teman-teman Mahananian lainnya. Seketika saya lupa, bahwa beberapa waktu lalu ada keriuhan yang menyoal pendirian gereja di Mojoroto, Kediri; saya lupa bahwa belum lama ini terjadi perusakan rumah doa umat Kristen di Padang; saya pun sempat lupa bahwa saya pernah menulis persoalan intoleransi di Cianjur pada tahun 2022 lalu.

Tidak. Saya tidak lupa ternyata. Dalam relung yang sunyi saya hanya sedang menyangkal: mengapa rentetan intoleransi itu dapat terjadi? Apa yang menyebabkan orang-orang bisa melakukan kekejian sedemikian rupa? Apakah orang-orang itu, mereka yang menjadi pelaku intoleransi, tidak pernah berinteraksi secara langsung?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak akan saya jawab dalam tulisan yang jelek-saja-belum ini. Dalam tulisan ini, saya hanya akan mencatat apa-apa yang tersisa dari sebuah perjumpaan yang menghangatkan hati—sebab ingatan akan rapuh oleh waktu.

Catatan ini saya tulis sebab sebuah perjumpaan yang bagi saya amat langka. Selama bergiat di Ruang Literasi Mahanani, baru kali ini saya mengikuti agenda rutin Berani Goblok  di tempat lain. Agenda Berani Goblok pada tanggal 2 Agustus 2025 kali ini diadakan di Susteran Putri Kasih Kediri dengan membedah buku Aburing Kupu-Kupu Kuning karya Romo Sindhunata. Buku tersebut dibedah dengan apik dan trengginas oleh Saudara Akib—teman-teman Mahananian menyebutnya mas-mas kejawen—yang kemudian ditanggapi langsung oleh Romo Suparmono.

Tak hanya itu. Sebelum bedah buku dimulai, kami disuguhi makan malam semangkuk soto yang cukup nikmat bin lezat. Lebih-lebih para suster amat baik hati dengan mengatakan, “Monggo kalau mau tambah”. Sudah tentu hal itu tak terlewat begitu saja oleh teman-teman. Dua mangkuk, tiga mangkuk, ludes semua di hadapan kanca-kanca Mahananian. 

Dalam hati terdalam, sambil malu-malu saya selalu berucap, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih, para suster.”

Setelah makan malam yang gayeng itu usai, kami kembali ke tempat perjamuan. Acara dibuka oleh Suster Imelda dan Tsania. Dalam keadaan perut kenyang dan hati yang hangat, acara pun dapat kami ikuti dengan khidmat.

Kami semua menikmati pertunjukan wayang yang amat elok dari dalang cilik—meminjam sebutan dari Romo Suparmono—Ki Madjid Panjalu. Lakon yang dibawakan Ki Madjid yaitu Melik Nggendhong Lali. Puluhan mata terpana oleh kepiawaian dalang cilik tersebut. Setelah itu dimulailah diskusi bedah buku Aburing Kupu-kupu Kuning karya Romo Sindhunata.

Jika saya ditanya, apakah yang berkesan dari acara tersebut, maka saya akan gelagapan menjawabnya. Sebab dari keselurahan, cukup membuat saya terkesan. Mulai dari datang dengan disambut sangat ramah, hingga kami pulang pun dilepas dengan cukup hangat. 

Kendati demikian, beberapa hal yang perlu saya garis bawahi adalah tanggapan dari Romo Suparmono atas diskusi bedah buku tersebut. Beliau mengutip kisah Rabiah Adawiyah, seorang sufi besar Islam. Sungguh, saya seketika lupa bahwa beliau seorang Romo. Saya kira beliau adalah seorang kiai atau gus atau ustaz. 

Hal tersebut mengajak saya kembali menilik kerisauan saya sendiri terkait iman: Iman yang risau adalah sahabat karib bagi saya. Dari perjumpaan itu, saya pun menginsafi bahwa iman itu bukan soal identitas, bukan soal selama apa saya memutar tasbih dan duduk menghadap-Nya. Iman, dalam permenungan yang, barangkali naif, sublim ini adalah suatu kasih sayang terhadap sesama.

Saya pun kembali menginsafi bahwa dalam Asmaulhusna (99 nama-nama Tuhan), nama yang pertama kali disebut adalah al-rahman (Maha Penyayang). Ya, Tuhan itu Maha Penyayang. Maka sebagai manusia yang ruhnya ditiupkan oleh Tuhan, memiliki sifat penyayang sudah menjadi hal mutlak yang harus dipatrapi. Ditindaklampahi.

Keimanan yang rapuh, bagi saya setelah berjumpa dengan keindahan di Susteran Putri Kasih, adalah iman yang tak mampu menemui keindahan dalam setiap perbedaan. Saya jadi teringat Soe Hok Gie. Ia pernah mengatakan dalam catatan hariannya bahwa, “Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta”.

Sebesar apapun perbedaan, semua akan menjadi kerdil di hadapan cinta. Cinta kasih pada sesama, cinta pada keindahan, kecintaan pada Tuhan. 

Maka akan janggal jika ada seseorang yang mendaku beriman penuh-utuh-seluruh, tetapi berlaku nista terhadap sesama yang berbeda agama atau berbeda akidah. Akan janggal juga jika atas nama iman, ia berperang, melakukan tindakan kekerasan, melarang yang-liyan untuk berdoa dan beribadah. Maka izinkan pula saya mengutuk: iman cap macam apa yang seperti itu.

Jika saya ditanya (lagi) apa yang tersisa dari perjumpaan malam itu? Maka saya akan menjawab dengan mantap bahwa yang tersisa usai berjumpa ialah keimanan saya yang makin kokoh. Iman pada yang Maha Cinta, iman pada keindahan, sebab Allahu jamil wa yuhibbul jamal. Tuhan itu indah dan mencintai keindahan. Dari mana keindahan dapat kita sesapi? Tentunya bukan dari keseragaman.

Sekali lagi, berjuta-juta terima kasih saya haturkan pada para suster di Susteran Putri Kasih Kediri yang amat baik hati, yang menghangatkan hati, dan juga pada Romo Suparmono yang ramah dan rahmah (penuh kasih) pada saya dan kami semua. 

Betapa rentetan kasus intoleransi, bahkan hingga Perang Salib tak sepatutnya terjadi. Barangkali yang kita perlukan adalah perjumpaan dan pergumulan. Tak usah membawa apa-apa. Cukup bawa imanmu yang kering itu dan cinta pada sesama. Maka sembuh sudah segala iman yang rapuh; maka sembuh sudah kebencian yang menganga itu.

Lemah teles, Gusti ingkang mbales. Berkah dalem.

Penulis: Moh. Ainu Rizqi