Jepang dikenal sebagai negara yang sukses memadukan tradisi dan teknologi tanpa kehilangan identitasnya. Jepang adalah bukti bahwa masa lalu dan masa depan bisa berjalan beriringan. Namun, ada faktor geopolitik yang turut berperan besar dalam strategi harmonisasi Jepang. Pertanyaannya, apakah Indonesia—dan Kediri khususnya—bisa menirunya?
Di Jepang, masa lalu dan masa depan bersalaman erat, seakan tak pernah berpisah. Di bawah langit yang sama, gerbang torii merah menyala berdiri kokoh, sementara kereta peluru melesat tanpa ragu. Kuil-kuil tua berbisik doa, sementara layar-layar neon di Shibuya menari dalam bahasa cahaya.
Di gang kecil, seorang nenek membungkuk di depan toko teh, meracik daun dengan sentuhan yang diwariskan zaman. Tak jauh dari sana, seorang pemuda memindai kode QR untuk memesan matcha latte tanpa antre. Harmoni bukan sekadar mimpi, tapi seni yang dirajut dalam setiap detik kehidupan.
Begitulah Jepang, di mana lampion kuno tetap menyala, meski dunia sudah terang oleh layar digital.
Karakter Jepang
Ada satu hal yang membuat Jepang sukses dalam menyatukan tradisi dan teknologi: karakter orang-orangnya. Mereka bukan sekadar pekerja keras—itu sudah klise. Yang lebih menarik, mereka punya kombinasi sifat yang, kalau dipikir-pikir, seperti campuran samurai dan insinyur robot.
Pertama, mereka punya shokunin spirit, semangat untuk menyempurnakan sesuatu sampai ke detail terkecil. Entah itu membuat sushi atau merancang robot, mereka melakukannya dengan dedikasi seakan dunia akan runtuh jika ada satu sekrup yang miring. Hasilnya? Segala sesuatu di Jepang tampak rapi, tertata, dan berfungsi nyaris tanpa cela—bahkan kereta mereka lebih tepat waktu daripada janji seseorang yang bilang “OTW”.
Lalu, ada gaman, kemampuan bertahan dalam tekanan. Orang Jepang tidak mudah mengeluh, apalagi menyerah. Mau gempa, badai, atau bos yang hanya memberi pujian lewat ekspresi anggukan pelan, mereka tetap maju. Ini yang membuat mereka sanggup membangun industri canggih tanpa kehilangan ritual minum teh yang sama sejak zaman samurai.
Jangan lupa juga iitoko-dori, kemampuan ajaib mereka dalam mengambil yang terbaik dari luar tanpa kehilangan jati diri. Jepang melihat teknologi Barat, mengadopsinya, lalu mengolahnya hingga terasa lebih… Jepang. Sama seperti mereka mengambil makanan asing lalu menjadikannya versi yang lebih imut dan lebih rapi, misalnya burger yang porsinya lebih kecil tapi presentasinya seperti seni tingkat dewa.
Terakhir, mereka punya kesadaran kolektif yang luar biasa. Kalau di tempat lain teknologi sering kali membuat orang semakin individualis, di Jepang justru sebaliknya. Robot diciptakan bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk membantu manusia. Kota-kota futuristik tetap punya ruang untuk festival kuno. Seolah-olah mereka semua sudah sepakat bahwa kemajuan hanya bermakna jika tidak menghilangkan makna hidup itu sendiri.
Jadi, bukan teknologinya saja yang hebat, tapi orang-orangnya yang tahu cara memperlakukan teknologi dengan hormat—sama seperti mereka memperlakukan tradisi yang sudah ada jauh sebelum mesin pertama kali ditemukan.
Karakter Indonesia
Saat melihat bagaimana orang Jepang begitu disiplin, presisi, dan mampu mengharmoniskan tradisi dengan teknologi, aku jadi bertanya-tanya: bagaimana dengan bangsaku sendiri? Apakah kita punya karakter yang sekuat mereka? Apakah kita juga bisa berdiri tegak di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri?
Maka aku berkaca pada Kediri, kota kelahiranku ini. Mungkin tidak setertib Jepang dalam antrean atau sepresisi mereka dalam manajemen waktu, tapi ada hal-hal yang membuat orang Kediri unggul dengan caranya sendiri.
Pertama, orang Kediri punya karakter gotong royong. Ini bukan sekadar konsep bantu-membantu di acara pernikahan atau kerja bakti membersihkan selokan. Ini mentalitas yang membuat masyarakat tetap bertahan dalam segala situasi. Semangat berbagi di Kediri sangat kuat. Dari tradisi zakat, sedekah, gotong royong, hingga patungan untuk hal-hal sederhana seperti traktiran teman yang ulang tahun, semua menunjukkan bahwa donasi bukan sekadar kewajiban, tapi juga bentuk kepedulian yang sudah mendarah daging.
Lalu, ada seni bertahan hidup dengan akal kreatif. Antena TV rusak? Tali jemuran bisa jadi solusi. Motor mogok? Dorong pakai kaki atau pakai garpu sebagai kunci darurat. Kehujanan? Plastik kresek jadi jas hujan alternatif. Kardus jadi sol sepatu darurat, rokok dipercaya menyembuhkan luka, hingga tutup panci bisa menggantikan tutup radiator. Dengan modal kreativitas, keterbatasan bukan hambatan—selalu ada cara asal ada niat!
Jangan lupakan fleksibilitas tingkat dewa. Orang Kediri bisa menyesuaikan diri dengan perubahan lebih cepat dari yang dibayangkan. Butuh adaptasi budaya? Tidak masalah. Butuh belajar teknologi? Bisa, asal cukup ‘kuota’. Bahkan dalam menghadapi aturan yang berubah-ubah, orang Kediri tetap bisa menjalani hidup dengan senyum dan kalimat andalan: “Santai, besok juga ada solusinya.”
Yang paling hebat, orang Kediri punya daya juang yang kuat, meski sering dibalut dengan humor. Mereka menghadapi tantangan dengan mental baja, dengan tetap tak lupa untuk ketawa. Filosofi hidupnya sederhana: kalau bisa dibuat ringan, kenapa harus dibuat tegang? Bahkan seandainya negara autopilot atau bubar, rakyat Kediri tanpa rewel akan bertahan sabar.
Jadi, meski tidak punya kereta peluru secepat Jepang atau robot yang bisa membantu pekerjaan rumah, orang Kediri tetap punya sesuatu yang berharga—kebersamaan, kreativitas, dan semangat pantang menyerah yang membuat negara ini selalu punya harapan untuk maju, tanpa harus kehilangan senyum dan canda.
Apakah orang Kediri menelantarkan tradisi? Woo…woo… penghinaan besar ini!
Tradisi di Kediri bukan benda mati yang hanya dipajang di museum sepi. Ia hidup, berkembang, dan beradaptasi dengan zaman. Orang Kediri Raya tidak sekadar mempertahankan warisan budaya, tapi juga membuatnya tetap relevan, agar tidak hanya dikenang, tapi terus dijalani.
Kediri (dan Indonesia) Beda
Kediri punya sejarah panjang, karakter kuat, dan penghormatan terhadap tradisi yang luar biasa. Dari era Kerajaan Kediri yang berjaya di bawah Jayabaya hingga kearifan lokal yang masih hidup di masyarakatnya, Kediri adalah salah satu pusat peradaban Jawa yang kokoh. Namun, jika Jepang bisa mengharmoniskan tradisi dan teknologi hingga menjadi negara maju, mengapa Kediri—bahkan Indonesia secara keseluruhan—tidak bermuara ke arah yang sama?
Pertanyaan itu terlalu rumit untuk kujawab, apalagi untuk artikel sepanjang sekali ngemil ini. Yang bisa kutawarkan hanyalan teori konspirasi.
Setelah menonton Oppenheimer, ada satu momen yang terus terngiang di kepalaku: Kyoto seharusnya masuk daftar target bom atom, tapi kemudian dibatalkan. Alasannya? Seorang pejabat tinggi Amerika punya kenangan bulan madu di sana. Kalau dipikir-pikir, ini terdengar terlalu sentimental untuk keputusan strategis sebesar itu. Apakah benar semata-mata soal kenangan pribadi, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?
Jepang lalu kalah perang, tapi justru setelah itu, negara ini berubah menjadi simbol kedamaian dan keindahan. Kota-kota seperti Kyoto, Nara, dan Tokyo tetap berdiri dan bahkan menjadi destinasi wisata kelas dunia. Bukannya hancur total seperti Jerman pasca-perang, Jepang justru “dipelihara” oleh pemenang perang, seakan-akan memang disiapkan untuk menjadi pusat romantisme global.
Jadi, aku mulai berpikir: apakah Jepang memang sengaja dibiarkan berkembang dengan citra seperti ini? Apakah ada kepentingan geopolitik untuk menjadikan Jepang sebagai wajah “damai” dari dunia pasca-perang? Bagaima cara pemenang perang “memelihara” Jepang?
Nah, pertanyaan terakhir itulah kuncinya. Entah bagaiman siasatnya para pemimpin Jepang harus selalu selaras dengan karakter bangsanya. Di Jepang, pemimpin bukan sekadar pengambil kebijakan, tetapi cerminan dari nilai-nilai masyarakat—disiplin, kerja keras, loyalitas, dan komitmen terhadap kemajuan bersama. Dengan pemimpin yang memiliki etos sama seperti rakyatnya, kebijakan pun berjalan konsisten, tidak terputus oleh pergantian kekuasaan, sehingga Jepang tetap stabil dan berkembang tanpa kehilangan identitasnya.
Sedangkan Indonesia bernasib beda, yang terjadi malah sebaliknya. Apa maksudnya? Ah, ini teori konspirasi, cukup dibaca santai sambil ngopi.[]