Ini adalah transkrip dari video “Minifest Literasi Politik”, yang menampilkan diskusi bersama Prof. Dr. Melani Budianta mengenai sejarah, mentalitas bangsa, dan pendidikan. Video lengkap dapat disaksikan di: YouTube.
Sejarah Masa Lalu yang Terlupakan
Ee, kalau menyambung apa yang dikatakan Bude tadi, ada dua hal yang kalau menurut saya perlu sekali kita pelajari, kuasai, dan pahami.
Pertama adalah sejarah masa lalu itu. Nah, kalau kita lihat masa lalu, kita terlalu terpaku dengan cerita-cerita kebesaran kerajaan-kerajaan, tapi tidak pernah membahas berbagai peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan adanya—apa namanya—konflik, kemudian ee pertempuran, pembuangan para tokoh-tokoh sebelum kemerdekaan.
Itu terutama di sini, saya sebagai perempuan melihat banyak loh sebetulnya pahlawan-pahlawan yang berjuang, tapi tidak pernah muncul di buku-buku sejarah. Pembelajaran sejarah kita itu sifatnya seperti catatan-catatan kejadian, kronologis, apa yang terjadi, siapanya, lalu apa terjadi apa, ee pemberontakan atau pertempuran, dan kemudian pembasmian dan sebagainya—penuh kekerasan.
Sejarah yang Sarat Kekerasan dan Mentalitas yang Terbentuk
Nah, dalam hal ini saya catat, sejarah kita itu penuh dengan kekerasan. Sehingga dalam hal ini, sebenarnya kalau secara dari teori psikologi sosial, teori proses belajar sosial, pada akhirnya kita belajar kalau kita beda pendapat hingga sampai timbul pertentangan, konflik, penyelesaiannya apa? Kekerasan, dan kemudian penghukuman.
Perhatikan, kalau dalam bahasa Inggris ada perbedaan arti antara law (hukum) dengan punishment (hukuman), tapi dalam bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata, yaitu hukum. Padahal ada bedanya, the rule of law dengan punishment. Ini kita sepertinya membaur. Pokoknya ini ada aturan yang kalau dilanggar atau apa, terus langsung dihukum. Itu menjadi suatu kebiasaan.
Mentalitas Bangsa Terjajah yang Masih Melekat
Itu yang kedua, suatu gambaran psikologis mentalitas bangsa kita. Ini berdasarkan sejarah masa lalu itu, sebagai bangsa terjajah. Itu sudah banyak penelitian maupun apa namanya, ee analisis yang mengatakan mentalitas bangsa terjajah itu disebabkan karena perasaan rendah diri, diskriminasi, kemudian penindasan, dan itu berlangsung terus-menerus.
Belum lagi ini ditimpakan bahwa masyarakat kita pada dasarnya merupakan masyarakat feodal etnis. Jadi, perasaan-perasaan feudalisme dalam suatu struktur masyarakat yang hierarkis dan kemudian primordialisme dalam ini, itu jangan-jangan dianggap karena kita sudah merdeka itu langsung terhapus.
Pengalaman-pengalaman menyakitkan, kalau tidak ingin dikatakan sebagai trauma, itu tersimpan di bawah sadar, apalagi kalau itu menjadi pola yang kita pelajari, sehingga kemudian itu kita terapkan, kita lakukan terhadap bangsa sendiri.
Pendidikan Sebagai Kunci Perubahan
Ini yang harus dihapus melalui apa? Tadi Bude mengatakan, pendidikan. Nah, ketika kita merdeka, berapa persen dari penduduk kita itu yang terdidik, sudah melalui pendidikan formal Barat? Padahal kita mengenal, berdasarkan politik etisnya Belanda, itu kan kemudian berkembang sekolah-sekolah. Ada sekolah pribumi, sekolah Amtenar yang mendidik birokrat, dan kemudian sekolah yang memang hanya bisa dimasuki oleh para bangsawan, di mana mereka bercampur dengan orang Belanda, anak-anak Belanda.
Nah, kemudian dari situ, berapa yang terdidik? Saya masih ingat, ketika tahun 2000-an itu masih ada loh pemberantasan buta huruf dilakukan di pasar-pasar. Berarti di sini keterdidikan bangsa kita yang diamanatkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45, mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak pernah, kalau menurut saya, dipikirkan secara komprehensif.
Belajar dari Jepang dan Tiongkok
Jepang ketika kalah Perang Dunia Kedua, Pangeran Hirohito, kaisarnya ketika itu, langsung bertanya pada menterinya, “Kita masih punya guru berapa ribu orang?” Jadi yang dipikirkan adalah bagaimana membangkitkan kembali martabat orang Jepang lewat pendidikan.
Cina, negara Cina Republik Rakyat Tiongkok, itu menjadi modern karena apa? Dalam hal ini, reformasi pendidikan. Ketika tahun berapa itu, mulai tahun ee akhir 90-an, awal 90-an, di situ mereka memang melakukan merger, penyatuan program studi-program studi yang sama. Tetapi mahasiswa, terlepas dia mengambil bidang ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu eksakta, wajib mengambil mata kuliah budaya tradisional, kearifan lokal, entah itu kaligrafi, entah itu ajaran Konghucu, Laozi, atau apa, entah itu kemudian kebudayaannya, seni tari, dan sebagainya.
Di Mana Posisi Kita?
Kita? Mana? Padahal pembelajaran budaya itu yang membuat kita sensitif, peka. Karena terutama ilmu-ilmu sosial itu tidak hanya bisa dikuasai dengan rumus. Celakanya, teori-teori ilmu-ilmu sosial itu dianggap seperti rumus. Enggak bisa. Mempelajari ilmu-ilmu sosial harus dikritisi dan ditempatkan sesuai dengan konteks budaya setempat.
Lah, yang namanya ilmu-ilmu sosial itu, ilmu pengetahuan itu lahirnya di Barat, kok. Akhir abad ke-18 dan berkembang berdasarkan sejarah perkembangan masyarakat Barat dengan revolusi industrinya. Terus tahu-tahu kita belajar teori mereka, terus kemudian diterapkan. Ya enggak ini. Enggak, apa namanya, enggak cocok.
Itu kenapa setelah Perang Dunia Kedua, kemudian kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika itu meningkat, terus kemudian ada pembangunan besar-besaran di mana dananya memang berasal dari negara-negara Barat. Nah, itulah model pembangunan.
Tetapi ternyata gagal. Dan itu ada dianalisis oleh—ee saya lupa namanya—tapi judul bukunya The Asian Drama, Drama Asia. Itu mempertanyakan, kenapa sudah sekian banyak dana, ee, apa, bantuan dari negara-negara Barat untuk pembangunan negara-negara Asia-Afrika, itu gagal justru menyejahterakan negara-negara tersebut? Di mana letak kesalahannya?
Ditemukan perbedaan budaya. Karena perbedaan budaya itu menggambarkan perbedaan nilai, cara pandang terhadap dunia, sesama manusia, bahkan alam semesta.
Menemukan Identitas Bangsa
Lah, kalau orang Jawa, ya, pandangan hidupnya itu bisa diringkas menjadi satu kalimat: dadi wong. Apa artinya dadi wong? Apakah material? Apakah status? Apakah pangkat? Apakah gelar? Nah, itu dia.
Eh, menarik sekali. Kontekstual kalau di dalam, nah berarti, pembelajaran kearifan lokal, pengetahuan lokal. Karena dengan demikian kita mengenal diri kita sendiri. Dengan mengenal diri kita sendiri, kita juga jadi tahu identitas kita tuh siapa. Kita bisa mendefinisikan diri, dan dari situ kita butuh apa.
Penutup: Bangkit dengan Kearifan Lokal
Baik. Terima kasih, Bu. Semoga ini jadi satu inspirasi supaya teman-teman tidak hanya soal Barat saja, tetapi juga mulai kembali mempelajari bagaimana kontekstualisasi dari produk pengetahuan lokal dan juga membangun bangsa.
Terima kasih, Bu Nani, membersamai kami di Minifest Literasi Politik. Matur nuwun. Semoga nanti bisa di kesempatan yang lebih baik lagi. Matur nuwun, ya. Salam sehat semua. Sukses untuk teman-teman. Sampai jumpa lagi.