Kembali Kediri

Kediri Raya itu gabungan antara sejarah epic dan realitas kekinian—di mana jaranan bisa viral di TikTok dan angkringan jadi coworking space dadakan.

Harmoni Kediri: Bagaimana Nasibnya Nanti Setelah Wali Kotanya Kini Ganti?

Slogan “Harmoni Kediri: The Service City” telah lama menjadi identitas Kota Kediri. Slogan ini merepresentasikan keseimbangan antara toleransi sosial, pelayanan publik yang prima, serta pengembangan kota yang berorientasi pada harmoni. Namun, setelah kepemimpinan berganti dari Abdullah Abu Bakar ke Vinanda Prameswati, muncul pertanyaan: apakah konsep harmoni ini masih akan dipertahankan atau akan tergeser oleh visi baru?

Vinanda Prameswati membawa visi “MAPAN” yang merupakan singkatan dari Maju, Agamis, Produktif, Aman, dan Ngangenin. Dengan hadirnya visi baru ini, nasib “Harmoni Kediri” menjadi tanda tanya. Apakah Kediri akan tetap mempertahankan pendekatan yang sama, ataukah akan mengalami pergeseran arah dalam pembangunan dan identitas kota?

Sederhananya, apakah harmoni ini akan tetap hidup atau hanya akan jadi kenangan manis seperti mantan yang dulu suka ngajak makan tapi sekarang ngajak reunian?

Seberapa Nyata Harmoni Kediri?

Sebelum membahas masa depan slogan ini, perlu kita telaah sejauh mana harmoni Kediri benar-benar terwujud.

Dari Perspektif Sosial: Kediri dikenal sebagai kota dengan tingkat toleransi yang tinggi. Masjid, gereja, dan kelenteng bisa berdiri berdampingan tanpa konflik yang berarti. Gotong royong masih kuat di masyarakat.

Dari Perspektif Ekonomi: Kota Kediri berkembang sebagai pusat perdagangan dan jasa. Namun, masih ada tantangan dalam pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.

Dari Perspektif Pelayanan Publik: Beberapa tahun terakhir, Kota Kediri cukup gencar meningkatkan digitalisasi pelayanan. Namun, tantangan tetap ada, seperti kesenjangan akses bagi masyarakat di daerah pinggiran.

Apakah dengan kepemimpinan baru, prinsip harmoni ini akan tetap terjaga, atau justru akan bergeser ke prioritas lain? Ataukah ini seperti WiFi gratis, terlihat menjanjikan tetapi akhirnya sinyalnya lemah?

Wali Kota Baru: Berarti Arah Baru?

Vinanda Prameswati membawa konsep “MAPAN” sebagai arah pembangunan Kota Kediri ke depan. Jika dibandingkan, apa perbedaan antara “MAPAN” dan “Harmoni Kediri”?

Jika dibandingkan, Harmoni Kediri lebih menitikberatkan pada toleransi sosial, pelayanan publik yang prima, dan keseimbangan ekonomi. Sementara itu, konsep MAPAN cenderung fokus pada kemajuan infrastruktur dan teknologi dengan nilai agama sebagai dasar.

Dari segi arah pembangunan, Harmoni Kediri lebih menekankan keterpaduan antara masyarakat dan layanan kota agar tercipta lingkungan yang nyaman dan inklusif. Sebaliknya, MAPAN berambisi meningkatkan daya saing Kediri dengan menitikberatkan pada produktivitas dan keamanan.

Citra kota pun sedikit berbeda. Jika Harmoni Kediri mencerminkan kota yang rukun dan nyaman bagi semua golongan, MAPAN membawa Kediri ke arah yang lebih progresif dengan tetap menjaga identitas religiusnya. Pertanyaannya, apakah pergeseran ini akan semakin memperkuat Kediri atau justru menggeser keseimbangan yang telah lama terbangun?

Dari perbandingan itu, terlihat bahwa MAPAN bisa saja menjadi pergeseran dari “harmoni” ke arah yang lebih pragmatis dan produktif. Namun, pertanyaannya, apakah harmoni masih menjadi elemen utama dalam konsep MAPAN? Jika tidak, maka slogan lama bisa jadi akan digantikan atau direduksi menjadi bagian kecil dari visi yang lebih luas. Jangan-jangan ini seperti handphone flagship, di mana fitur yang dulu dianggap penting sekarang malah dihapus?

Prediksi Nasib Harmoni Kediri

Ada beberapa kemungkinan terkait nasib “Harmoni Kediri” dalam pemerintahan Vinanda Prameswati:

1.     Slogan Tetap Dipertahankan:

MAPAN hanya menjadi tambahan program, bukan pengganti slogan resmi kota. Konsep harmoni tetap diterapkan, tetapi dengan pendekatan yang lebih modern dan berbasis digitalisasi. Ibarat bubur ayam, tetap diaduk atau tidak, yang penting masih bisa dimakan.

2.     Slogan Direvisi atau Digabungkan:

“Harmoni Kediri” bisa saja disandingkan dengan MAPAN sebagai bagian dari strategi branding yang baru. Misalnya, slogan baru bisa berbunyi: “Kediri MAPAN: Harmoni dalam Kemajuan” Ibarat nasi goreng, bumbunya ditambah, tapi tetap nasi goreng.

3.     Slogan Diganti Secara Total:

Jika harmoni tidak lagi menjadi prioritas utama, maka slogan ini bisa digantikan dengan konsep baru yang lebih sesuai dengan visi wali kota baru. Ibarat mantan yang sudah move on, tidak ada lagi jejak di Instagram!

Slogan vs lapangan

Apa pun keputusan yang diambil, yang lebih penting bukan sekadar perubahan slogan, tetapi bagaimana konsep tersebut diimplementasikan dalam kebijakan nyata.

Pergantian kepemimpinan selalu membawa tantangan dan harapan baru. Apakah Kediri akan tetap mempertahankan semangat harmoni atau akan beralih ke pendekatan baru yang lebih berorientasi pada produktivitas dan pembangunan?

Slogan hanyalah simbol, tetapi yang lebih penting adalah realisasi di lapangan. Jika benar-benar ingin mempertahankan Kediri sebagai kota yang harmonis dan maju, maka perlu ada komitmen dari pemimpin baru untuk tidak hanya sekadar mengganti jargon, tetapi juga membuktikan keberlanjutan dari nilai-nilai yang telah ada.

Bagaimana menurut masyarakat Kediri? Apakah perubahan ini akan membawa dampak positif atau justru menggeser keseimbangan yang telah lama terjaga?