Di dunia yang penuh informasi, kita sering mendengar istilah literasi. Namun, bagaimana kalau ada yang berkata bahwa literasi terbagi dua, yaitu li-terasi dan liter-asi? Li-terasi adalah makanan gurih bergizi, sedangkan liter-ASI adalah minuman penyegar otak?
Jika kamu mengernyitkan dahi membaca pernyataan itu, selamat, kemungkinan besar kamu masih punya nalar sehat. Tapi jika kamu mulai berpikir ingin mencoba li-terasi dengan nasi atau meneguk liter-ASI di siang hari yang panas, saatnya kita berbicara serius tentang literasi yang sesungguhnya.
Apa Itu Literasi?
Literasi adalah kemampuan membaca, menulis, memahami, dan menggunakan informasi dengan baik. Kemampuan ini bukan sekadar bisa mengeja huruf atau menulis status media sosial dengan lancar, tetapi juga tentang memahami konteks, memilah mana fakta dan mana bualan, serta menganalisis informasi dengan kepala dingin.
Tanpa literasi yang baik, seseorang bisa dengan mudah percaya bahwa garam bisa menarik rezeki jika ditaburkan di depan rumah. Seseorang juga bisa tertipu iklan yang menjanjikan tinggi badan naik sepuluh sentimeter dalam semalam. Bahkan, ada kemungkinan seseorang bisa terjebak dalam perdebatan serius tentang apakah literasi itu makanan atau minuman.
Li-terasi vs. Liter-ASI: Salah dan Sesat
Jika kita memecah kata literasi, pemenggalannya yang benar adalah li-te-ra-si, bukan li-terasi atau liter-asi. Kata literasi berasal dari bahasa Latin literatus, yang berarti melek huruf atau berpendidikan. Kata ini diserap utuh dalam bahasa Indonesia tanpa perlu diutak-atik menjadi kategori menu makanan dan minuman.
Dalam ejaan bahasa Indonesia, pemenggalan kata mengikuti aturan suku kata. Literasi terdiri dari empat suku kata yang benar, yaitu li-te-ra-si. Jika ada yang nekat memisahkannya menjadi li-terasi atau liter-asi, mungkin yang bersangkutan sedang lapar atau haus saat menuliskannya. Lapar dan haus yang mengarah ke nalar yang aus.
Secara logika, tidak ada hubungan antara li-terasi dengan makanan atau liter-asi dengan minuman. Jika seseorang membuat klaim ini tanpa dasar, itu hanya permainan kata yang lebih cocok untuk konten humor daripada diskusi linguistik.
Literasi: Tameng dari Kebodohan
Memiliki literasi yang baik membuat seseorang lebih sulit diperdaya oleh informasi aneh. Saat melihat berita bahwa es batu bisa mengisi daya ponsel, mereka tidak akan langsung meletakkan HP di dalam kulkas. Saat membaca iklan “pelangsing instan tanpa olahraga dan diet”, mereka tidak akan terbuai harapan semu, apalagi kalau penjualnya sendiri masih berbadan subur. Orang yang melek literasi tahu bahwa kata-kata bisa menipu, dan tidak semua yang tertulis di internet adalah wahyu dari langit.
Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga soal berpikir kritis. Orang yang terbiasa membaca akan lebih sulit tertipu janji manis atau rayuan gombal tanpa bukti konkret. Jika ada artikel yang menyebutkan bahwa dengan mencium batu akan mendapat keberuntungan, mereka tidak akan langsung berburu batu di pinggir jalan. Mereka akan bertanya, “Siapa yang menulis ini? Apa sumbernya? Apakah batu yang dicium juga merasa beruntung?” Dengan literasi yang baik, seseorang bisa memilah mana informasi yang masuk akal dan mana yang hanya cocok dijadikan bahan lawakan.
Selain membuat seseorang lebih kritis, literasi juga mencegah mereka jadi korban gosip dan teori konspirasi absurd. Mereka tidak akan mudah percaya kalau dunia ini sebenarnya dikendalikan oleh kucing yang sedang menyamar sebagai manusia. Mereka juga tidak akan panik membaca berita bahwa kopi bisa menyebabkan kebotakan, lalu buru-buru menyalahkan espresso atas rambut yang mulai menipis. Dengan literasi yang kuat, seseorang bisa menghadapi derasnya arus informasi tanpa hanyut dalam kebodohan, atau lebih parahnya, jadi duta hoaks di grup keluarga.[]